Blog Tausiyah275

Desember 23, 2013

Sholat Subuh: Qunut, Tidak Qunut, Kadang Qunut Kadang Tidak?

Bismillah,

Salah satu perdebatan yg (mungkin) tidak akan pernah berakhir di kalangan kaum muslim (terutama di Indonesia) adalah mengenai qunut, sebagaimana pernah saya tulis di artikel ini. Pertanyaannya, bagaimana kita menyikapi qunut ini? Apakah HARUS ber-qunut? Atau TIDAK ber-qunut sama sekali? Atau kadang qunut kadang tidak?

Sebelum saya menjawab pertanyaan tersebut, ada baiknya kita baca dulu 2 artikel lama yg saya simpan dari halaman berikut ini.

Toleransi Kunut di Bandara

Author: MOH MAHFUD MD

Jumat, 18 Agustus 2013, pekan lalu karena harus terbang ke Pontianak dengan penerbangan terpagi, saya harus melakukan salat subuh di Bandara Soekarno-Hatta.

Saat melakukan salat subuh di Garuda Lounge, terasa ada tepukan ringan di bahu, pertanda ada seseorangyangakanikutsalatsebagai makmum. Maka itu, saya memosisikandirisebagaiimam, salatsubuh berdua dengan orang itu. Setelah salat dan berdoa sendiri-sendiri, saya tinggalkan musala kecil itu dan duduk di ruang tunggu sambil meminum teh dan menyarap kue-kue kecil. Tiba-tiba orang yang tadi bermakmum salat subuh kepada saya bergabung duduk di kursi di depan saya.

”Pak Mahfud saat mengimami salat subuh kok tidak berkunut? Pak Mahfud, kan orang NU?” tanya orang yang ternyata mengenal saya itu. Setelah merenung sejenak saya menjawab, ”Karena saya mengira Bapak orang Muhammadiyah, saya tidak berkunut. Kalau mengimami salat orang Muhammadiyah, saya tidak berkunut karena tidak ingin memaksa orang ikut berkunut. Kalau salat di rumah atau di mesjid-mesjid NU, saya selalu berkunut.

Orang itu kemudian menjawab sambil tertawa, ”Hahaha, sejak kecil saya selalu berkunut. Saya ini pengikut Tarekat Syattariyah makanya saya tadi siap berdoa kunut bersama Pak Mahfud.” Kemudian kami menyamakan permakluman dan pemahaman bahwa saya tak berkunut saat mengimami salat karena tak mau memaksa orang ikut berkunut terhadap orang yang tak biasa berkunut. Berkunut atau tidak berkunut salat tetap sah sebab soal pilihan berkunut atau tidak adalah masalah furu’ yang kecil dalam beribadah.

Orang itu kemudian memperkenalkan diri sebagai orang yang bernama Refrizal, anggota DPR RI dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Pagi itu, sama dengan saya, Pak Refrizal akan terbang ke Padang dengan penerbangan pertama sehingga harus bersembahyang subuh di bandara. Saya sungguh tidak pernah mengira pagi itu saya dapat bertukar cerita dengan Pak Refrizal tentang apa yang kami alami bersama saat salat subuh itu dengan mengenang cerita salat subuhnya KH Idham Cholid yang ketua PBNU bersama Buya HAMKA yang tokoh Muhammadiyah.

Cerita itu sering saya dengar saat saya masih menjadi mahasiswa di Yogyakarta. Bagaimana ceritanya? Pada suatu hari Buya HAMKA dan KH Idham Cholid melakukan salat subuh berjamaah dan yang menjadi imamnya adalah Idham Cholid. Ternyata Idham Cholid tidak membaca doa kunut sehingga seusai salat HAMKA bertanya, mengapa Pak Idham yang ketua umum NU tidak berkunut saat mengimami salat subuh.

Apa jawab Idham Cholid? ”Saya tidak membaca doa kunut karena yang menjadi makmum adalah Pak HAMKA yang tokoh Muhammadiyah. Saya tak mau memaksa orang yang tak berkunut agar ikut berkunut,” jawab Idham Cholid. Beberapa hari kemudian giliran Idham Cholid yang menjadi makmum salat subuh dan HAMKA yang menjadi imamnya. Ternyata saat salat subuh itu HAMKA membaca doa kunut yang panjang dan fasih. Seusai salat Idham Cholid pun bertanya, mengapa HAMKA yang tokoh Muhammadiyah berkunut saat mengimami salat.

”Karena saya mengimami Pak Idham Cholid, tokoh NU yang biasa berkunut kalau salat subuh. Saya tak mau memaksa orang yang berkunut untuk tak berkunut,” jawab HAMKA. Cerita tentang salat subuh berjamaah antara Idham Cholid dan HAMKA sangat berkesan bagi saya sebagai contoh mulia dalam toleransi dan saling menghargai.

Di masa lalu, dan mungkin masih ada sampai sekarang, sering terjadi pertengkaran bahkan permusuhan hanya karena soal-soal kecil antara orang-orang NU dan orangorang Muhammadiyah seperti soal kunut, melafalkan niat dengan nawaitu atau usalli, tahlilan, ziarah kubur, dan sebagainya. Padahal itu semua sama sekali tidak menyangkut ihwal prinsip dalam akidah, tapi hanya menyangkut ihwal yang sunah atau mubah, bukan terkait haram atau mubah.

Kita bersyukur bahwa pada saat ini, setelah puluhan tahun HAMKA dan Idham Cholid mencontohkan, pertengkaran dalam soal-soal furu’ di kalangan muslimin di Indonesia sudah sangat berkurang. Karena membaiknya pengertian atas masalah-masalah substansi keislaman, sekarang ini sudah jauh lebih banyak warga NU dan Muhammadiyah yang tidak lagi bertengkar dalam soal-soal furu’ (cabang kecil).

Mereka sudah bisa melihat dan menyikapi dengan biasa perbedaan-perbedaan yang remeh-temeh itu. Toleransi dalam urusan beragama seperti itu sungguh menyejukkan dan bisa membuat kekuatan besar untuk bersama- sama membangun kemaslahatan umum. Toleransi seperti itu menjadi penting pula untuk dikuatkan bukan hanya di internal satu agama, melainkan dalam hubungan antarpemeluk agama yang berbeda.

Indonesia yang Bhinneka Tunggal Ikainiakan menjadi lebih cepat maju kalau rakyatnya menghayati agamanya dengan penuh toleran. Beragama dengan benar tentulah menimbulkan kedamaian di hati dan kerukunan di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Kalau Anda merasa tidak damai, resah, atau marah terhadap orang lain yang berbeda keyakinan dengan Anda sehingga kita tidak bisa tidur nyenyak, kita salah dalam beragama. 

MOH MAHFUD MD
Guru Besar Hukum Konstitusi

Haruskah mengikuti imam qunut subuh?

Pertanyaan:

Assalamu’alaikum wr. wb.,

Ustadz, saya mau tanya. Saya kalau shalat subuh sendiri tidak pernah pakai qunut. Tetapi kalau di mesjid, seringkali imamnya memakai qunut. Apakah saya harus mengikuti imam memakai qunut atau tidak karena saya pernah baca hadits bahwa imam shalat harus diikuti oleh ma’mum. Terima kasih ustadz

Wassalamu’alaikum wr. wb.,

Waskito

Jawaban:

Saudara Waskito dan netters eramuslim yang selalu setia mengunjungi eramuslim, semoga Allah ta’ala senantiasa mencurahkan rahmat-Nya kepada kita semua.

Masalah doa qunut subuh sejak lama telah menjadi perbedaan padangan para ulama rahimahumullah. Diantara mereka ada yang mengatakannya bid’ah, tidak disyari’atkan, ini adalah pendapat madzhab Imam Abu Hanifah dan madzhab Imam Ahmad bin Hanbal rahimahumallah. Selain itu ada juga yang mengatakannya sunnah mu’akkadah, ini adalah pendapat madzhab Imam Malik dan madzhab Imam Syafi’i. Bila kita bahas secara penjang lebar dan terus menerus tentu tidak akan selesai, artinya kita tidak bisa mengatakan ini yang benar dan yang lainnya salah, karena para ulama kita memiliki dalil atau argumentasi cukup kuat menurut mereka yang menjadi pijakan mereka dalam berijtihad.

Kalau kami boleh memberi saran mengenai yang saudara Waskita alami, dan saudara Waskito adalah seorang yang tidak menggunakan qunut saat shalat subuh namun posisi saat itu adalah sebagai makmun dalam shalat berjamaah, maka sebaiknya ikut mengangkat tangan dan mengaminkan doa Imam tersebut. Kecuali kalau sang Imam telah melakukan kesalahan dalam gerak atau pun rukun shalat, hendaknya di mengingatkan imam tersebut dengan ucapan subhanallah.

Bijak dan menjaga ukhuwah

Sangat dewasa dan bijak sekali yang pernah dilakukan oleh orang-orang yang berilmu di masa lalu, ketika suatu hari salah seorang diantara mereka shalat dan bermakmukan Imam yang tidak qunut dia pun ikut berqunut. Demikian pula sebaliknya saat salah seorang diantara mereka shalat dan bermakmumkan imam yang berqunut dia pun ikut berqunut. Hal ini Karena mereka tidak ingin berta’ashshub (fanatik) pada satu pendapat tertentu. Tidak saling menyalahkan dan menjaga ukhuwah serta persatuan lebih mereka utamakan dibanding dengan mempertahankan suatu yang masih dalam perbedaan pandangan ulama, yang tentunya mereka juga tidak sembarang dalam mengambil dalil yang mereka jadikan argumentasi dalam berijtihad.

Suatu hari Imam Syafi’i rahimahullah pernah shalat subuh tidak jauh dari makam Imam Abu Hanifah rahimahullah, namun beliau tidak berqunut, padahal beliau berpendapat bahwa qunut subuh hukumnya sunnah mu’akkadah. Saat ditanya kenapa beliau tidak membaca qunut, beliau menjawab: “Apakah aku menyalahinya (berbeda pendapat) sedang aku berada di hadapannya (di dekat makamnya)?”.

Demikian pula dengan Imam Ahmad bin Hanbal pendiri madzhab Al-Hanabilah atau lebih akrab di lisan madzhab Hanbali, mengatakan bahwa seseorang yang bermakmum di belakang imam yang qunut hendaknya dia mengikuti imam tersebut dan mengaminkan doanya, padahal Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah, dalam riwayat yang cukup masyhur berpendapat bahwa doa qunut subuh tidak disyariatkan, akan tetapi beliau memberikan dispensasi untuk mengikuti imam yang qunut pada shalat subuh tersebut untuk menghindari perbedaan pendapat yang akan berimbat pada perbedaan hati kaum muslimin.

Saudara Waskito dan netters eramuslim yang kami cintai, demikian yang bisa kami sampaikan semoga dapat meberikan pencerahan untuk kita semua, amin. Wallahu a’lam bishshawab.

Sementara saya sendiri melakukan hal berikut. Apabila saya sholat Subuh berjama’ah di masjid yg ada qunutnya, maka saya akan ikut qunut. Tapi jika di masjid tersebut tidak ada qunutnya saat Suuh atau saya sholat Subuh di rumah, maka saya tidak akan memaksakan diri berqunut.

Saya dahulu pernah tidak berqunut pada saat imam di masjid berqunut. Di kemudian hari saya menyesali sikap saya tersebut. Semestinya prinsipnya sederhana saja. Ikuti imam sholat selama tidak melanggar rukun sholat. Mirip dengan yg dilakukan oleh Mahfud MD, Hamka, ataupun Idham Cholid. Apalagi dengan Imam Syafi’i. Karena ilmu saya tidaklah setinggi mereka, maka saya menerapkan prinsip yg telah disampaikan Rasululloh SAW tersebut,”Dari Malik (telah bersabda Rasulullah saw): “Dan shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.”(H.R. Bukhari)

Jadi, silakan anda berqunut, tidak berqunut (sama sekali) ataupun kadang ber-qunut kadang tidak.

Semoga berguna.

7 Komentar »

  1. kisah yang menarik, bahwa perbedaan adalah hal yang harus sama sama dipahami, selama tidak soal akidah.. setuju?

    Komentar oleh wiyono — Desember 31, 2013 @ 12:29 am | Balas

    • setuju sekali mas Wiyono 🙂

      Komentar oleh Tausiyah 275 — Desember 31, 2013 @ 4:05 pm | Balas

  2. Alhamdulillah meski baru sekarang baca tulisan ini, tetapi sungguh sangat bermanfaat bagi saya.

    Komentar oleh Hasto Wibowo — April 4, 2015 @ 3:37 am | Balas

  3. alhamdulilah skarang saya dh pahan…..
    trims atas infonya

    Komentar oleh dayat — Juli 2, 2015 @ 5:25 am | Balas

  4. Sungguh menarik….alhamdulillah meskipun baru baca saya telah melaksanakan sebagaimana uraian di atas.

    Komentar oleh sunarto tamila — Juli 14, 2015 @ 4:35 pm | Balas

  5. Assalammualaikum ustaz jikalau saya solat sendiri jadi makmum adakah saya baca doa qunut atau sebaliknya !!!!! dan satu lagi soalan ustaz jikalau kita tidak hafal doa2 baca ayat diwaktu solat masa itu adakah kita menbaca nya lagi maksud lihat lagi doa solat yang kita tidak hafal disebalik adakah solat itu tidak sah mohon penjelasan terima kasih

    Komentar oleh norasikin asmawati — Mei 26, 2018 @ 4:39 am | Balas

  6. Alhamdulillah trimakasih ilmunya

    Komentar oleh Untung — Januari 30, 2021 @ 12:00 pm | Balas


RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

Tinggalkan komentar