Bismillah,
Ulama adalah pewaris Nabi, demikian sabda dari Rasululloh SAW. Dari pemahaman saya selama ini, itu artinya seorang ulama mesti menjadi panutan bagi umat, terutama umat masa kini yg (mungkin merasa) kian berat dalam menghadapi hidup sehingga tidak sedikit dari mereka lebih mengutamakan kehidupan/urusan dunia yg membuat rohani mereka membutuhkan siraman untuk menyegarkan dan mengingat kembali hakikat hidup di dunia ini.
Seperti saya sebut di atas, seorang ulama mesti mewarisi sifat dan ilmu dari Nabi, meski hanya sebagian kecil. Namun setidaknya 4 sifat Nabi dan Rasul mesti dimiliki. Ulama juga mesti bisa menjadi jembatan antara pemerintah dg rakyatnya, memberikan ketenangan ketika masyarakat gelisah, menjadi tempat bertanya bagi umat yg ingin mengenal agama (Islam) lebih mendalam.
Meski demikian, tidak sedikit ulama yg terjebak dalam konflik, terutama ketika terlibat dalam politik. Sangatlah mengherankan ketika seorang ulama mesti melakukan tindakan2 tercela ketika dia membela salah satu partai ataupun calon presiden tertentu, padahal Islam sudah memberikan panduan dalam berpolitik.
Dan tidak sedikit pula kita temui ada ulama yg begitu ‘kaku’ dalam menjalankan fungsinya. (Agama) Islam terasa begitu ‘mengerikan’ pada saat mereka berdakwah. Ucapan kafir, bunuh, jihad (yg sering disalahpahami), laknatullah, konspirasi Yahudi, adalah sebagian dari hal2 ‘mengerikan’ yg membuat umat malah kian terbakar emosi dan meluap amarahnya.
Tapi, melihat sosok Imam Shamsi Ali, kita akan melihat ulama yg berbeda.
Perilaku beliau yg santun namun tegas, lembut tapi bervisi ke depan, membuat saya yakin bahwa Imam Shamsi merupakan tipe ulama yg dibutuhkan kaum muslim saat ini.
Lahir di Kecamatan Kajang, Kabupaten Bulukumba, sebuah daerah di Sulawesi Selatan, beliau bertutur bahwa tidak pernah terlintas dalam benak beliau bahwa dirinya akan merantau dan melanglang buana hingga ke negara Paman Sam (USA) dan berdakwah di sana. Namun siapa yg bisa tahu dengan rencana ALLOH SWT?
Mulai mengenyam ilmu agama dengan menjadi santri di Pondok Pesantren Muhammadiyah Darul Arqam, tujuan awal Imam Shamsi kecil nyantri di sana sebenarnya agar sikap dan kelakuannya lebih baik. Harap maklum, Imam Shamsi kecil adalah anak yg terkenal badung (meski dia pintar) di kampungnya.
Sejalan dengan waktu yg berjalan, melalui tempaan hidup di pesantren dan persaingan antar santri (meskipun kebadungannya kadang kambuh), bakat dan kecerdasan Imam Shamsi untuk menjadi orang yg berilmu sudah tampak. Nilai-nilai pelajaran Agama dan Bahasa Arab yg diperolehnya cukup baik. Bahkan beliau menjadi salah satu (dari 2) santri terbaik yg lulus dari pesantren tersebut.
Takdir ALLOH SWT yg membawanya merantau ke Pakistan, memperdalam ilmu agama dan memperlancar Bahasa Arab. Sebagai mahasiswa, beliau mengambil fakultas Ushuluddin dengan spesialisasi Tafsir Al Qur’an.
Menarik sekali membaca cerita beliau pergi ke Jeddah untuk berdakwah kepada orang Barat di sana dan menemukan kenyataan bahwa ada orang Arab yg menganggap rendah umat Islam non Arab dikarenakan mereka tidak paham bahasa Arab sehingga (dianggap) tidak tahu dan tidak paham Al Qur’an dan Sunnah. Sungguh suatu sikap yg menyedihkan dan patut dikasihani, menurut saya.
Ketika ALLOH SWT merasa tugas Imam Shamsi sudah cukup di Jeddah, maka DIA menugaskan Imam Shamsi untuk berdakwah di negeri Paman Sam.
Dalam rentang waktu yg cukup lama, Imam Shamsi sudah memberikan banyak kontribusi yg sangat berarti, di antaranya melakukan diskusi antar agama, kemudian ikut menenangkan umat Islam ketika terjadi tragedi 9/11 serta memberikan penjelasan tentang Islam kepada masyarakat Amerika Serikat serta (berusaha) meluruskan kesalahpahaman tentang Islam yg menghinggapi banyak orang di Amerika Serikat.
Meski beliau pernah hidup dan mengenyam pendidikan di Pakistan, yg notabene dikenal sebagai salah satu negara Islam garis keras, namun Imam Shamsi mampu menampilkan dan memberi contoh bahwa Islam (tidak mesti) keras. Perilaku santun, ramah, serta open mind (membuka wawasan) yg beliau lakukan malah membuat banyak orang Amerika Serikat yg tertarik ingin mendalami Islam dan tidak sedikit yg akhirnya memeluk Islam dengan bimbingan beliau.
Saya yakin kehidupan beliau di Amerika Serikat, negara yg begitu heterogen karena banyak orang hidup dengan berbagai macam budaya dan perilaku, yg membuat beliau bisa lebih toleran dan tenang untuk menghadapi pemikiran yg berbeda yang kadang bahkan sangat tajam dan berpotensi terjadinya gesekan di masyarakat. Terlebih ketika peristiwa 9/11 terjadi, umat Islam yg minoritas menjadi bulan-bulanan dan dihakimi oleh banyak masyarakat dan media di Amerika Serikat, beliau bisa tampil memberikan pernyataan dan sikap yg tenang serta bisa membuat suasana dan kondisi umat Islam lebih baik.
Perilaku santun dan taat menjalankan Islam yg dilakukan Imam Shamsi dan keluarga justru membuat banyak tetangganya yg yakin bahwa Islam adalah benar2 rahmatan lil ‘aalamiin dan percaya bahwa umat Islam sebenarnya adalah umat yg ramah bukan umat yg mudah emosi.
Saya berharap akan banyak Imam Shamsi lain yg muncul, tidak saja untuk berdakwah di Amerika Serikat, tapi justru di Indonesia. Saya yakin umat Islam di Indonesia membutuhkan ulama yg tenang, kalem, tidak emosian serta tidak menyulut emosi umat. Namun ulama tersebut juga bisa bertindak tegas terutama jika ada umat Islam sendiri yg membuat kisruh.
Jika anda ingin membaca lebih dalam tentang kehidupan Imam Shamsi, saya merekomendasikan buku “Imam Shamsi Ali, Menebar Damai Di Bumi Barat”. Salah satu buku yg menarik untuk disimak dan diambil hikmahnya.
Nope, saya bukan pengarang buku tersebut jadi artikel ini tidak bermaksud promo buku tersebut kok, melainkan ingin mengajak para pembaca blog ini untuk mengetahui bahwa masih ada ulama yg moderat dan open mind dengan kondisi zaman tanpa meninggalkan syariat (hukum) Islam.
Semoga kita bisa meniru perilaku Imam Shamsi, hidup di zaman modern namun tidak lupa untuk tetap menjadikan Al Quran dan Sunnah sebagai pedoman hidup.
Anda bisa mengikuti tweet Imam Shamsi Ali di sini.
Semoga bermanfaat.