Bismillah,
Membaca komentar-komentar (baik itu pertanyaan ataupun konsultasi) di artikel tentang perceraian (talak), saya melihat banyak dari para penulis komentar yg bertanya mengenai rujuk. Baik dari caranya, lalu apa yg mesti dilakukan, dan hal2 lainnya. Terutama mereka kebingungan dengan hubungan rujuk dengan hubungan suami istri.
Berikut ini saya akan coba share mengenai rujuk, semoga bermanfaat.
Rujuk hanya terjadi dan bisa dilakukan (dengan mudah) JIKA terjadi talak 1 dan 2. Sementara jika sudah talak 3, syarat rujuk cenderung lebih sulit.
Beberapa referensi mengenai rujuk adalah:
– “Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru (masa ‘iddah). Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu (masa ‘iddah), jika mereka (para suami) itu menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf. Akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Al Baqarah(2):228).
– “Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik” (Al Baqarah(2):229).
Rujuk usai talak 1 dan 2 bisa dilakukan dengan cara:
1. Suami menyatakan/berbicara ingin rujuk kepada istri. Demikian juga sebaliknya.
2. Berhubungan badan (hanya berlaku jika masih DALAM MASA IDDAH)
Dasar hukumnya adalah:
1. Pendapat dari Sayyid Sabiq dalam kitab Fiqh Sunnah.
“Rujuk bisa dilakukan dengan ucapan, seperti, seorang suami mengatakan kepada istrinya: ‘Saya rujuk kepadamu.’ Bisa juga dengan perbuatan, misalnya dengan hubungan badan, atau pengantar hubungan badan, seperti mencium atau mencumbu dengan syahwat.” (Fiqh Sunnah, 2:275).
2. Mazhab Hambali dg referensi Mausu’ah Fiqhiyah.
“Rujuk sah menurut mereka (hambali) dengan hubungan badan secara mutlak. Baik suami berniat untuk rujuk atau tidak niat, meskipun tidak ada saksi dalam hal ini.” (Mausu’ah Fiqhiyah Kuwaitiyah, 22:111).
Sebagaimana saya tulis di atas, khusus untuk hub suami istri baru bisa dinyatakan sebagai rujuk apabila masih dalam masa iddah. Apabila hub suami istri ini dilakukan selepas masa iddah, maka akan dikategorikan sebagai ZINA.
Beberapa ulama menyatakan PERLU SAKSI untuk rujuk dengan alasan agar menghindari fitnah/hal2 yg tidak diinginkan di kemudian hari. Meski dari mazhab Hambali menyatakan tidak perlu, sebagaimana referensi di atas.
Jika sudah talak 3 lalu ingin rujuk, apa yg mesti dilakukan?
Sebelum saya membahasnya, saya sertakan referensi terkait dengan talak 3 dan rujuk.
– “Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia nikah dengan suami yang lain” (Al Baqarah(2):230).
– “Suatu ketika istri Rifaa’ah Al Qurozhiy menemui Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Ia berkata, “Aku adalah istri Rifaa’ah, kemudian ia menceraikanku dengan talak tiga. Setelah itu aku menikah dengan ‘Abdurrahman bin Az-Zubair Al Qurozhiy. Akan tetapi sesuatu yang ada padanya seperti hudbatuts-tsaub (ujung kain)”. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tersenyum mendengarnya, lantas beliau bersabda : “Apakah kamu ingin kembali kepada Rifaa’ah? Tidak bisa, sebelum kamu merasakan madunya dan ia pun merasakan madumu.”
Dari 2 referensi di atas, jelas bahwa untuk TIDAK ADA RUJUK untuk talak 3, seperti yg bisa dilakukan pada talak 1 dan 2 di atas.
Lalu, apakah itu berarti pak Dodi tidak bisa rujuk kembali dengan bu Zubaidah? *saya ambil contoh saja, agar lebih mudah*
Pak Dodi BISA SAJA rujuk dengan bu Zubaidah, namun dengan syarat bu Zubaidah MESTI MENIKAH DAHULU dengan laki-laki lain, misal pak Gatot, dan berhubungan suami istri, lalu bercerai dengan pak Gatot.
Namun, bukan berarti pak Dodi dan bu Zubaidah bisa kongkalingkong dengan pak Gatot untuk melakukan hal di atas dengan tujuan pak Dodi dan bu Zubaidah bisa rujuk. Niat dan perbuatan kongkalingkong seperti ini disebut muhalil. Rasululloh SAW MELAKNAT hal ini!
– “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat muhallil (laki-laki yang menikahi seorang wanita dengan tujuan agar perempuan itu dibolehkan menikah kembali dengan suaminya yang pertama) dan al muhallal lahu (laki-laki yang menyuruh muhallil untuk menikahi bekas isterinya agar isteri tersebut dibolehkan untuk dinikahinya lagi).” (HR. Abu Daud no. 2076 dan Ibnu Majah no. 1934)
– “Maukah aku kabarkan kepada kalian tentang taisil musta’aar (domba pejantan yang disewakan)?” Para sahabat menjawab, “Tentu, wahai Rasulullah.” Beliau kemudian bersabda, “Ia adalah muhallil. Allah akan melaknat muhallil dan muhallal lahu.” (HR. Ibnu Majah no. 1936)
– “Telah datang seorang lelaki kepada Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma dan menanyakan tentang seseorang yang telah menceraikan isterinya dengan talak tiga, kemudian saudara laki-lakinya menikahi wanita tersebut tanpa adanya persetujuan dengan suami pertama agar wanita tersebut halal kembali bagi saudaranya, maka apakah wanita tersebut halal dinikahi kembali oleh suaminya yang pertama?” Beliau menjawab, “Tidak, kecuali nikah yang didasari rasa suka, kami menganggap hal tersebut adalah suatu hal yang keji pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Al Hakim 2: 217) *Hakim berkata bahwa hadits ini shahih sesuai syarat Bukhari Muslim*
Adapaun rujuk (untuk talak 1 dan 2) yang sudah melewati masa iddah = mesti melakukan akad nikah lagi. Yang mesti diperhatikan, status pihak perempuan = JANDA, sehingga TIDAK WAJIB ada wali.
Semoga berguna.