Blog Tausiyah275

September 21, 2014

Kapankah Cerai Sebagai Solusi Terbaik (Terutama Bagi Kaum Perempuan)?

Filed under: Fiqh,Hikmah,Munakahat — Tausiyah 275 @ 5:01 am

Bismillah,

Sehubungan dengan banyaknya pertanyaan dan konsultasi terkait perceraian di sini, saya melihat banyak kaum perempuan yg bingung menentukan sikap, apakah hendak bercerai agar mereka terlepas dari perilaku buruk suami yang mereka terima ataukah meneruskan pernikahan dengan alasan anak-anak ataupun tidak enak (dan tidak nyaman) dengan predikat janda yg mereka terima.

Berikut ini saran dari saya yang sebaiknya dipikirkan masak-masak oleh kaum perempuan sebelum mereka menentukan nasib mereka sendiri. Saran ini berlaku umum, juga bisa digunakan oleh kaum lelaki (suami). Namun pada dasarnya saran ini ditujukan kepada kaum perempuan.

1. Meneruskan pernikahan, dengan asumsi si suami/istri masih bisa diperbaiki kelakuannya.
Resiko:
– Mesti tahan banting selama proses memperbaiki kelakuannya
– Tidak bisa menentukan berapa lama proses dilakukan
– Tidak ada jaminan ybs akan berubah

2. Menghentikan pernikahan (cerai). Solusi ini memang tidak disukai ALLOH SWT, namun dengan bercerai maka:
– Anda dan keluarga (anak) punya hak untuk hidup (lebih) bahagia, aman, nyaman, dan bebas dari ketakutan
– Anda mencegah orang lain berbuat dosa (bertindak kasar, dst dst)
– Siapa tahu anda menemukan jodoh/pasangan yg lebih baik. Aamiin.

Resiko yang mesti dihadapi kaum perempuan, pada saat mereka memilih no 2 adalah:
– Anda mesti siap mencari nafkah untuk keluarga
– Anda mesti siap dg rongrongan/masalah (terutama terkait anak) yg dilakukan oleh (mantan) suami anda kelak.
– Tidak ada jaminan anda menemukan jodoh pengganti, mungkin akan menjanda seterusnya
– Mesti siap menjadi omongan orang

Namun, sesungguhnya tidak perlu risau dengan status janda yg akan melekat pada diri perempuan, usai mereka bercerai. Mengapa? Silakan baca artikel berikut ini, insya ALLOH anda tidak perlu takut lagi dengan predikat janda. Aamiin.

So, apabila kondisi rumah tangga anda memang sudah sedemikian parah dan tidak bisa diperbaiki lagi, maka tempuh langkah terakhir, yakni bercerai. Itupun memang sudah dilakukan masak-masak, bukan karena emosi sesaat yang kelak akan disesali, terutama jika sudah jatuh talak 3.

Semoga bermanfaat.

September 17, 2014

Apa Hukumnya Dibonceng Tukang Ojek?

Filed under: Ensiklopedia Islam,Fiqh,Hikmah,HOT NEWS,Lain-lain,Seri Kesalahan2,Tarbiyah — Tausiyah 275 @ 10:47 am

Bismillah,

Salah satu hal yg pernah ditanyakan kepada saya adalah hukum dibonceng tukang ojek.

Sebagaimana diketahui bersama, keberadaan tukang ojek merupakan salah satu penyelamat terutama di Jakarta yg jalanannya seringkali macet (dan mungkin tidak akan pernah terselesaikan). Selain karena ongkosnya murah, tukang ojek yg jago akrobat (yg sayangnya membahayakan jiwa dirinya dan penumpangnya) akan menghemat waktu tempuh. Resikonya ya jelas ada, selain anggota tubuh berbenturan dengan kendaraan lain, bau asap dan kondisi badan jadi acak2an mesti siap ditanggung si penumpang.

Jika penumpangnya laki-laki, maka tidak ada masalah dari sisi hukum Islam. Tapi bagaimana jika penumpangnya perempuan?

Sudah seringkali saya mendapati penumpang perempuan dibonceng tukang ojek. Ada berbagai peristiwa dan posisi yg terkadang membuat saya hanya bisa mengelus dada, tapi kadang juga membuat saya tersenyum dan acungkan jempol.

Beberapa ulama menyatakan bahwa perempuan yg dibonceng tukang ojek (laki-laki tentunya) termasuk yg dikenai hukum berdua-duaan (khalwat). “Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka jangan sekali-kali dia bersendirian dengan seorang perempuan yang tidak bersama mahramnya, karena yang ketiganya ialah syaitan.” (Riwayat Ahmad)

Hadits di atas seringkali dijadikan rujukan, terlebih karena:
1. posisi kursi (jok) sepeda motor merupakan satu kesatuan (tidak ada pemisah).
2. normalnya berboncengan itu hanya berdua (agar tidak melanggar hukum).

Saya melihat para ulama lebih sering menekankan sanksi hukum tanpa membantu mencarikan solusi yg, minimal, bisa 60% atau lebih. Walhasil anjuran dan pendapat ulama ini sering diabaikan dan dianggap angin lalu.

Di sini, saya berusaha membantu mencarikan solusi, terlebih jika melihat kondisi Jakarta yg memang seringkali memaksa para perempuan menggunakan jasa ojek.

1. Beri ruang/jarak dengan tukang ojek.
Jika si perempuan (apalagi sudah bersuami) memeluk erat badan si tukang ojek, jelas hal itu menyalahi hukum Islam. Bahkan bisa saja ada pikiran bahwa mereka selingkuh. Ataupun hal tersebut sudah mendekati zina.

Memberi ruang/jarak di sini bisa dilakukan dengan menyimpan tas ataupun map atau benda lain yg bisa menghindarkan kontak dengan tubuh si tukang ojek.

Ada kalanya si tukang ojek yg justru kurang ajar. Dia lantas mengendalikan motornya dengan ngawur, meng-gas dan meng-rem sesukanya, sehingga terjadi kontak/sentuhan antara dia dengan penumpangnya.

Jika ini terjadi, ada baiknya si perempuan bersikap tegas. Minta turun dan laporkan ke polisi dengan tuduhan pelecehan seksual. Menampar atau melakukan kontak fisik jelas tidak disarankan, meski saya tahu rasa kesal, dongkol, dan marah yg muncul.

2. Mencari tukang ojek yg baik2 (dikenal).
Poin 2 ini mungkin agak sulit, terlebih jika butuhnya mendadak. Dan tidak ada jaminan juga tidak terjadi perselingkuhan, apalagi sudah kenal.

Namun, setidaknya tukang ojek yg baik2 dia juga akan berusaha menjaga sikap. Karena bila terjadi hal yg tidak menyenangkan dialami 1 pelanggannya, bisa berakibat hilangnya pelanggan (perempuan) yg lainnya.

3. Tidak melewati jalur2 sepi.
Kecuali terpaksa karena hari sudah malam (gelap) atau lokasi tujuannya di tempat sepi. Minta tukang ojek untuk selalu lewat daerah yg ramai (tapi bukan macet) untuk mencapai tujuan.

Semoga artikel ini bermanfaat.

September 2, 2014

Islam Dan Sekulerisme (Islam Menjadi Penyebab Sekuler?)

Filed under: Ensiklopedia Islam,Fiqh,Hikmah,HOT NEWS,Lain-lain,Tarbiyah — Tausiyah 275 @ 3:10 pm

Bismillah,

Siapa sih yang tidak mengenal istilah sekuler? Jika anda memang termasuk orang yang belum tahu, anda bisa googling dan temukan definisi sekuler di sini (anda bisa cari/gunakan sumber lain sebagai referensi definisi ini).

Sekulerisme sedikit banyak mulai berkembang sejak jaman Renaissance, usai benua Eropa mengalami ‘dark age’ (masa kegelapan). Ketika itu dominasi gereja demikian luar biasa, mereka menentukan banyak hal di berbagai bidang, bahkan termasuk dalam kehidupan pribadi masyarakat. Salah satu hal radikal yg dilakukan pihak gereja adalah mengutuk (bahkan ada yg mengatakan, gereja menghukum mati) Nicolaus Copernicus hanya karena dia punya teori bahwa bumi mengelilingi matahari, sebuah pemahaman baru yg mendobrak dogma yg ditanamkan oleh gereja selama sekian lama.

Usai renaissance, orang2 Barat cenderung memisahkan agama dalam kehidupan (duniawi) mereka. Alasan simplenya: agama bikin ribet hidup!

Tidak heran orang2 Barat tidak terlalu ambil peduli dengan agama, kecuali mereka yg memang radikal. Di banyak negara di Eropa, kian banyak gereja yg kosong, bahkan para pendeta pun berusaha mengajak umat muda Kristen untuk kembali memenuhi gereja.

Mari kita mengalihkan pandangan kita ke Islam.

ALLOH SWT, melalui Al Quran, sejak awal sudah menyatakan bahwa Islam adalah ‘way of life’ atau jalan hidup. “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kamu turut langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu.” (Al Baqarah(2):208).

Bagian mana yg menyatakan bahwa Islam adalah jalan hidup?

Islam dinyatakan sebagai jalan hidup karena di Islam kita bisa temukan banyak hal yg mengatur hidup kita. Bagaimana kita bisa temukan? Tidak sulit, yakni dengan melihat (dan mencontoh) kehidupan Rasululloh SAW, sebagaimana ketika ditanya tentang akhlak Rasululloh SAW, ‘Aisyah balik bertanya, “Apakah kamu tidak membaca al-Qur’an?” Sahabat yang bertanya menjawab, “Ya, aku membaca al-Qur’an”. ‘Aisyah berkata, “Akhlak Rasul adalah al-Qur’an.” Dalam riwayat lain dia menjawab, “Akhlaknya adalah al-Qur’an. Beliau ridha jika al-Qur’an ridha dan marah jika al-Qur’an marah.”

Jika kita mau mendalami sedikit lebih dalam, kita akan temukan bahwa Islam memberikan panduan untuk ibadah, bertetangga, berpolitik, pernikahan, perceraian, bahkan untuk urusan bersendawa dan menguap. Begitu banyak hal, terkait kehidupan manusia, yg telah disiapkan panduannya oleh Islam.

Namun menyoroti beberapa waktu belakangan ini, saya temukan mulai banyak umat Islam (terutama di Indonesia) yg perlahan-lahan mulai melirik gaya hidup sekuler sebagai pilihan hidup dan cara mereka menjalani kehidupan di dunia. Saya melihat yg menjadi pelaku (bahkan menjadi pelopor) dari kegiatan ini adalah generasi muda Islam, bahkan tidak sedikit yg lulusan pesantren ataupun mempunyai pengetahuan agama yg memadai.

Semula saya tercengang dengan kenyataan ini. Akan tetapi setelah saya berusaha menyelami dan memahami pemikiran mereka, saya menjadi sadar bahwa UMAT ISLAM ITU SENDIRI YG MENJADI PENYEBAB UMAT ISLAM LAIN MENJADI SEKULER!

“Wah, anda gegabah sekali mengeluarkan pernyataan seperti ini!”
“Ngaco ah..!!”

Pernyataan seperti itu mungkin akan (atau sudah?) terlontar. Namun saya bisa sampaikan mengapa hal ini (sekulerisasi Islam) bisa terjadi.

Penyebab utama (meski bukan satu2nya) mengapa sekulerisasi Islam terjadi adalah PENGHAKIMAN SECARA SEPIHAK YANG DILAKUKAN OLEH UMAT ISLAM LAIN TERHADAP UMAT ISLAM (ATAU UMAT) LAINNYA serta PERILAKU PEMELUK AGAMA ISLAM YANG TIDAK SESUAI DENGAN AJARAN ISLAM.

Bukti (paling mudah) poin pertama di atas adalah fitnah (politik) yg dilancarkan terhadap Jokowi, yakni dengan menganggap Jokowi adalah keturunan Cina, ortunya PKI, kafir, dst dst. Bahkan hingga artikel ini dibuat, masih ada yg mempertanyakan nenek moyang Jokowi tanpa mau untuk mencari dengan lebih baik (dengan sumber terpercaya).

Apakah sikap seperti ini bisa dikatakan sebagai sikap yg Islami? Apakah Islam mencontohkan perilaku tidak baik (atau bahkan bisa dikatakan biadab) dalam berpolitik? Sikap seperti ini pernah dilakukan oleh kaum Khawarij dengan mencap golongan Islam lain (di luar gol mereka) adalah kafir dan boleh ditumpas.

Poin berikutnya, mengenai perilaku pemeluk agama Islam yg tidak sesuai dengan ajaran Islam sebenarnya mirip2 juga. Dugaan korupsi (terkait haji) yg dilakukan oleh pejabat dengan ‘gelar’ menteri agama (yg notabene beragama Islam) serta perilaku kejahatan2 lain yg dilakukan oleh pejabat2 beragama Islam jelas merupakan pukulan terhadap Islam.

Juga adanya perilaku2 ‘ustad’ yg mengatasnamakan agama Islam untuk meraih keuntungan pribadi.

“Ah, itu kan oknum.”
“Jangan suudzon…!”

Jawaban2 di atas sebenarnya adalah hal yg klise.

Jika mau jujur, sebenarnya ‘tidak masalah’ jika banyak umat Islam yg melakukan kejahatan di Indonesia, lha wong memang mayoritas penduduknya beragama Islam. Sama seperti halnya kita sebut bahwa masyarakat Amerika Serikat umumnya kafir (non muslim), karena memang mayoritas penduduknya beragama Kristen dan Katolik.

Menjadi hal yg ‘memalukan’ ketika keadilan dan hukum tidak ditegakkan sebagaimana mestinya. Bagaimana mungkin koruptor dihukum begitu ringan, sementara pencuri ayam bisa meregang nyawa akibat dihakimi massa dan dibakar badannya? Jika seorang anak pejabat hanya dihukum percobaan usai menabrak orang hingga tewas sementara seorang sopir angkutan umum mesti meringkuk di penjara untuk hal yg sama, maka itu sudah menjadi indikasi bahwa Islam sudah tidak menjadi jalan hidup.

Sementara itu di negara sekuler, hukum justru bisa ditegakkan dengan lebih adil. Tidak bisa dipungkiri, masih ada ketidak adilan, terutama untuk kaum muslim yg menjadi minoritas. Pertanyaannya, apakah hukum di Indonesia juga cukup adil untuk kaum minoritas?

Di Inggris, orang Ahmadiyah masih bisa hidup dengan tenang, bahkan membuat stasiun televisi. Sementara di sini (Indonesia, dan negara2 mayoritas Islam lain) orang Ahmadiyah diusir bahkan dibunuh. Penyebabnya, hukum di negara sekuler menjamin semua golongan utk hidup, meski kaum minoritas sekalipun. Dan ini dipraktikkan dengan baik. Ketika ada masjid dirusak di Perancis, kepolisian segera menahan otak pelakunya. Sementara di sini, pelakunya cenderung dibiarkan (bebas) oleh polisi. Dugaan kuat, polisi enggan untuk berurusan dengan ormas yg (diduga) terlibat.

Umat Islam di Indonesia, menurut saya, salah kaprah antara hukum agama dengan hukum positif (negara). Sebagai umat Islam, maka kita WAJIB menjunjung tinggi dan menegakkan hukum Islam. Akan tetapi sebagai warga Indonesia, kita juga mesti patuh pada konstitusi.

Yang ‘bikin pusing’ adalah ketika umat Islam Indonesia ngotot untuk menegakkan negara Islam (yg merupakan utopia) dan menganggap hukum yg berlaku tidak bisa mengikat (tidak berlaku) bagi mereka karena merupakan produk manusia dan berkiblat ke produk kafir (demokrasi).

Perilaku dan kejadian di atas, menurut pengamatan saya, yg membuat sekulerisasi terhadap Islam terjadi.

Bukan tidak mungkin hal yg sama (seperti yg terjadi pada gereja/Kristen/Katolik) terjadi di Islam, yakni umat (mengaku) Islam namun enggan diatur atau menggunakan hukum Islam karena mereka melihat kenyataan tidak sesuai dengan teori/contoh yg diberikan oleh Rasululloh SAW dan umat2 terbaik terdahulu.

Lalu, apa yg mesti dilakukan untuk hal ini?

Insya ALLOH akan saya sampaikan di artikel lain.

Semoga artikel ini berguna.

Laman Berikutnya »